Hakikat
Manusia Dan Pengembangannya
1. Sifat Hakiki Manusia
a. Pengertian Sifat Hakiki Manusia
Sifat hakiki manusia diartikan sebagai ciri-ciri karakteristik,
yang secara prinsipiil (jadi bukanhanyagradual) membedakan manusia dari hewan.
Jika dilihat dari segi biologis manusia dengan hewan memiliki
banyak kemiripan, Socrates menamakan manusia itu zoon politicon (hewan yang
bermasyarakat), Max Scheller menggambarkan manusia sebagai das kranke tiier (hewan yangsakit) (Drijarkara,1962:138)
yang selalu gelisah
dan bermasalah.
Kenyataan
ini menimbulkan kesan yang keliru. Mengira bahwa manusia dengan hewan hanya
berbeda secara gradual (perbedaan dengan melalui rekayasa dapat dibuat sama keadaannya).
b. Wujud Sifat Hakiki Manusia
Wujud sifat hakiki manusia yang tidak dimiliki oleh hewan yang
dikemukakan paham eksistensialisme:
Kemampuan menyadari diri
Kemampuan Bereksistensi
Pemilikan kata hati
Moral
Kemampuan bertanggung jawab
Rasa Kebebasan (kemerdekaan)
Kesediaan melaksanakan kewajiban dan menyadari ahak
Kemampuan menghayati kebahagiaan.
Kemampuan
Menyadari Diri
Adanya kemampuan menyadari diri yang dimilki manusia, maka manusia
menyadari bahwa dirinya memiliki ciri khas atau karakteristik diri. Dan
menyebabkan manusia dapat membedakan dirinya dengan yang lain (orang lain,
lingkungan fisik) Lebih dari itu manusia
dapat membuat jarak (distansi) dengan lingkungannya, baik yang pribadi maupun
non pribadi.
Drijarkara (Drijarkara:138) menyebut kemampuan tersebuut dengan
istilah “Meng-aku”, yaitu kemampuan mengeksplorasi potensi-potensi yang ada
pada aku. Dan memahami potensi-potensi tersebut sebagai kekuatan yang dapat
dikembangkan sehingga aku dapat berkembang kearah kesempurnaan diri.
Kemampuan
Bereksistensi
Dengan keluar dari dirinya, dan dengan membuat jarak antara aku
dengan objek, lalu melihat objek sebagai
sesuatu, berarti manusia itu dapat menembus atau menerobos dan mengatasi
batas-batas yang membelenggu dirinya.
adanya kemampuan eksistensi
inilah pula yang membedakan manusia sebagai makhluk infra human, dimana
hewan menajdi onderdil dari lingkungan, sedangkan manusia menjadi manager
lingkungannya.
Kata
Hati (Conscience Of man)
Kata hati sering disebut dengan istilah hati nurani, lubuk hati,
pelita hati, dan sebagainya. Conscience ialah “pengertian yang ikut serta” atau
“pengertian yang mengikuti perbuatan”.
Kata hati adalah kemampuan membuat keputusan tentang yang
baik/benar dengan yang buruk/salah bagi manusia sebagai manusia. Dalam kaitan
dengan moral (pedoman), kata hati merupakan “petunjuk bagi moral perbuatan”.
Usaha untuk mengubah kata hati yang tumpul menjadi kata hati yang tajam disebut
pendidikan kata hati (Gawetan Forming). Realisasinya dapat ditempuh dengan
melatih kecerdasan dan kepekaan emosi. Tujuannya agar orang memiliki keberanian
moral (berbuat) yang didasari oleh kata hati yang tajam.
Moral
Jika kata hati diartikan sebagai bentuk pengertian yang menyertai
perbuatan, maka yang dimaksud moral (yang sering disebut juga etika) adalah
perbuatan itu sendiri.
Moral yang singkron dengan kata hati yang tajam yaitu yang
benar-benar baik bagi manusia sebagai manusia merupakan yang baik atau moral
yang luhur.
Etika
biasanya dibedakan dari etiket, etiket hanya berhubungan dengan dengan soal
sopan santun. Karena moral bertalian erat dengan keputusan kata hati, yang
dalam hal ini berarti bertalian erat dengan
nilai-nilai maka sesungguhnya moral itu adalah nilai-nilai kemanusiaan.
Tanggung
Jawab
Kesediaan untuk
menanggung segenap akibat dari perbuatan yang menuntut jawab.
Wujud tanggung jawab:
·
Tanggung
jawab kepada diri sendiri (menanggung tuntutan kata hati)
·
Bertanggung
jawab kepada masyarakat (menanggung tuntutan norma-norma sosial)
·
Tanggung
jawab kepada Tuhan (menanggung tuntutan norma-norma agama)
Keberanian untuk menentukan bahwa sesuatu perbuatan sesuai dengan
tuntutan kodrat manusia,dan bahwa hanya karena itu perbuatan tersebut dilakukan
sehingga sanksi apapun diterima dengan penuh
kesadaran dan kerelaan
Kata hati memberi pedoman, moral melakukan dan tanggungjawab
merupakan kesediaan menerima konsekuensi dari perbuatan
Rasa
Kebebasan
Merdeka adalah rasa bebas (tidak merasa
terikat oleh sesuatun ). Tetapi sesuai dengan tuntutan kodrat manusia.
Kemerdekaan dalam arti sebenarnya memang
berlangsung dalam keterikatan yaitu bebas berbuat sepanjang Tidak bertentangan
dengan tuntutan kodrat manusia.
Kewajiban
dan hak
hak dan kewajiban merupakan suatu rangkaian
yang tidak bisa terlepas. Tidak ada hak tanpa kewajiban dan sebaliknya.
Usaha menumbuh kembangkan rasa wajib
sehingga dihayati sebagai suatu keniscayaan dapat ditempuh melalui pendidikan
disiplin.
Disiplin diri menurut selo sumardjan
(wawancara TVRI, Desember 1990) meliputi 4 aspek, yaitu:
1. Disiplin Rasional
2. Disiplin sosial
3. Disiplin afektif
4. Disiplin agama
Kemampuan
Menghayati Kebahagiaan
Kebahagiaan merupakan suatu integrasi pengalaman-pengalaman yang
menyenangkan dengan yang pahit.
Kebahagiaan tidak terletak pada
keadaan secara factual ataupun pada rangkaian prosesnya, maupun pada perasaan
yang diakibatkannya tetapi terletak pada kesanggupan menghayati dengan keheningan
jiwa dan menundukkan hal tersebut dalam ikatan tiga hal yaitu usaha, norna, dan
takdir.
Usaha adalah perjuangan yang terus menerus
untuk mengatasi masalah hidup.
Usaha tersebut harus bertumpu pada norma
atau kaidah.Takdir baru boleh disebut sesudah orang melaksanakan usaha sampai
batas kemampuan.
Kebahagiaan dapat diusahakan
peningkatannya dengan mengembangkan kemampuan berusaha dan kemampuan menghayati
usaha dalam kaitannya dengan takdir.
2. Dimensi Hakikat Manusia
Dimensi
Hakikat ManusiaPotensi, Keunikan, dan Dinamikanya
4 dimensi yang akan dibahas:
v Dimensi Keindividualan
v Dimesi Kesosialan
v Dimensi Kesusilaan
v Dimensi Keberagaman
v
Dimensi Kindividualan
Lysen mengartikan individu sebagai “orang - orang”,
sesuatu yang merupakan suatu keuntungan yang tidak dapat dibagi – bagi (in
devide). Selanjutnya individu diartikan sebagai pribadi.
M.J. Langeveld mengatakan bahwa setiap orang memiliki
individualitas (M.J. Langeveld, 1955: 54).
Pola pendidikan yang menghambat perkembangan
individualitas (misalnya yang bersifat otoriter) dalam hubungan ini disebut
pendidikan yang patologis. Dalam pengembangan individualitas melalui pendidikan
tidak dibenarkan jika menunjukkan jalan dan mendorong subjek didik bagaimana
cara memperoleh sesuatu dalam mengembangkan diri dengan berpedoman pada prinsip
“Ing Ngarsa sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri handayani”.
v
Dimensi Kesosialan
Setiap bayi yang lahir, dikaruniai potensi
sosialitas (Langeveld, 1955:54). Artinya, setiap orang dapat saling
berkomunikasi yang pada hakikatnya didalamnya terkandung unsure member dan
menerima. Menurut Langeveld, adanya kesediaan untuk saling memberi dan menerima
itu dipandang sebagai kunci sukses pergaulan.
Imanuel Khant menyatakan manusia hanya
menjadi manusia jika berada diantara manusia. Kiranya tidak usah dipersoalkan
bahwa tidak ada seorang manusia pun yang dapat hidup seorang diri lengkap
dengan sifat hakikat kemanusiaannya di tempat terasing yang terisolir.
v
Dimensi Kesusilaan
Susila berasal dari kata su dan sila yang artinya kepantasan
yang lebih tinggi.
Drijarkara mengartikan manusia susila
sebagai manusia yang memiliki nilai-nilai tersebut dalam perbuatan
(1978:36-39).
Implikasi pedagogisnya ialah bahwa
pendidikan kesusilaan berarti menanamkan kesadaran dan kesediaan melakukan
kewajiban di samping hak pada peserta didik.
Pada masyarakat kita, pemahaman terhadap
hak (secara objektif rasional) masih perlu ditanamkan tanpa mengabaikan
kesadaran dan kesediaan melaksanakan kewajiban.
v
Dimensi
keberagamaan
Pada hakikatnya manusia adalah makhluk
religious. Beragama merupakan kebutuhan manusia karena manusia adalah makhluk
yang lemah sehingga memerlukan tempat bertopang.
Ph. Kohstamn berpendapat bahwa pendidikan
agama seyogyanya menjadi tugas orangtua dalam lingkungan keluarga, karena itu
adalah persoalan afektif dan kata hati. Pesan-pesan agama harus tersalur dari
hati ke hati. Terpancar dari ketulusan serta kesungguhan hati orangtua dan
menembus ke anak. Dalam hal ini, orangtualah yang paling cocok sebagai pendidik
karena ada hubungan darah dengan anak. Disini pendidikan agama yang diberikan
secara masal kurang sesuai (Thyeb, 1972:14-15).
*Laporan Diskusi Kelompok Kecil
Pengakuan Dimensi Hakikat Manusia dalam
Undang-Undang SISDIKNAS
Undang-undang
SISDIKNAS No. 20 tahun 2003 pasal 1 ayat 1 menyebutkan, Pendidikan adalah usaha
sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajardan proses pembelajaran
agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensidirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,kecerdasan, akhlak
mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan
negara.
Sangat
erat hubungannya dengan hakikat manusia yang merupakan cerminan dari
penciptaan, yang berasal dari tujuan penciptaan manusia, memenuhi kebutuhan,
berfikir, kemampuan mengendalikan diri serta kemampuan spiritual dan ketakwaan
terhadap tuhan yang Maha Esa, yang di dalamnya terkandung harkat dan martabat
manusia baik itu tentang hakikat manusia, dimensi manusia (Dimensi Keindividualan, dimensi Kesosialan,
dimensi kesusilaan, dan dimensi keberagaman) maupun daya cipta yang dimiliki
manusia itu sendiri.
Tegas sekali
disampaikan dalam UU sisdiknas bahwa tujuan diselenggarakannya pendidikan
adalah agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi yang ada dalam
diriya. Potensi diri peserta didik sungguh perlu dikembangkan agar ia mempunyai
kekuatan spiritual keagamaan. Dengan mengembangkan potensi, hal ini penting
agar peserta didik bisa mengendalikan diri dengan baik. Kepribadian yang kuat, dan keterampilan yang
dipandang perlu agar peserta bisa menghadapi kehidupan yang lebih baik. Itulah
beberapa hal penting yang ingin dicapai dari sebuah proses yang bernama
Pendidikan menurut UU SISDIKNAS No. 20 tahun 2003, Undang-undang sistem
pendidikan nasional ini disahkan oleh DPR dan Presiden pada 11 juni 2003.
Undang-undang ini merupakan pengganti dari UU SISDIKNAS Nomor 2 tahun 1989.
sangat membantu saya untuk materi perkuliahan
BalasHapus